Thursday, September 6, 2012

Aku Menangis Enam Kali Untuk Adikku


Aku adalah seorang wanita yang dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning dan punggung mereka yang menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik laki-laki, tiga tahun lebih muda dariku. Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis disekelilingku kelihatannya membawanya. Aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat aku dan adikku berlutut di depan tembok dengan sebuah tongkat bamboo ditangannya. Siapa yang mencuri uang itu? Beliau Bertanya.
            Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapapun mengaku jadi beliau mengatakan, Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul! Dia mengangkat tongkat bamboo itu tinggi-tinggi. Tiba-tiba, adikku mencengkram tangannya dan berkata, Ayah, aku yang melakukannya!
            Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia terus menerus mencambuk sampai ayah kehabisan nafas. Setelahnya, beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi, Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang. Hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatanng? Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!
            Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, aku tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi.
            Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahun lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika melindungiku. Waktu itu adikku berusia 8 tahun dan aku berusia 11 tahun.
            Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, Aku diterima untuk masuk sebuah universitas provinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus. Aku mendengarkannya mengeluh, Kedua ana kita memberikan hasil yang begitu baik, hasil yang begitu baik. Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?
            Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata, Ayah, Aku tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup bagiku membaca begitu banyak buku. Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya. Mengapa kau mempunyai hati yang begitu keparat lemahnya? Bahkan, jika berarti aku mesti mengemis di jalanan, aku akan lakukan itu untuk membiayai sekolah kalian sampai selesai! Dan, kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut mungkin ke muka adikku yang membengkak, dan berkata, Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya. Kalau tidak, ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini.
            Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh dating, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mongering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku :
          Kak, masuk universitas tidaklah mudah. Aku akan pergi mencari kerja dan mengirimmu uang.
            Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu, adikku berusia 17 tahun dan aku berusia 20 tahun. Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh warga dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga (di universitas). Suatu hari, aku sedang belajar dikamar kosku, ketika teman sekamarku masuk dan memberi tahukan, Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana!
            Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar dan melihat adikku dari jauh. Seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku? Dia menjawab sembari tersenyum, Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka piker jika mereka tahu aku adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?
            Aku merasa terenyuh dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, Aku tidak peduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa pun juga! Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu.
            Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku dan terus menjelaskan, Aku melihat semua gadis kota memakainya. Jadi aku piker kamu juga harus memiliki satu. Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis. Tahun itu, ia berusia 20 tahun dan aku 23 tahun.
            Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di mana- mana. Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku. Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita.
            Tetapi, katanya sambil tersenyum, Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidaklah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu.
            Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan salep pada lukanya dan membalut lukanya. Apakah itu sakit? Aku menanyakannya.
            Tidak, tidak sakit sama sekali. Kamu tahu, ketika Aku bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku berkerja dan . . . Di tengah kalimat itu di berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya dan air mata mengalir deras turun ke wajahku. Tahun itu adikku berusia 23 tahun dan aku 26 tahun.
            Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Banyak kali suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk dating dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun mereka tidak tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga dan mengatakan, Kak, jagalah mertuamu. Aku akan menjaga ibu dan ayah di sini.
            Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi, adikku menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi. Suatu hari, adikku berada di atas sebuah tangga untuk memperbaiki kabel. Ia tersengat listrik dan masuk rumah sakit. Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, Aku menggerutu, Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, terluka begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengarkan kami sebelumnya?
            Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya. Pikirkan kakak ipar. Ia baru saja menjadi direktur dan saya hamper tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan terdengar?
            Mata suamiku dipenuhi air mata dankemudian keluar kata-kataku yang sepatah-sepatah, Tapi, kamu kurang pendidikan juga karna aku! Mengapa membicarakan masa lalu? Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 tahun dan aku berusia 29 tahun.
            Kemudian, ketika berusia 30 tahun adikku menikahi seorang gadis di dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa cara perayaan itu bertanya kepadanya, Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi? Tanpa berpikir, ia menjawab, Kakakku.
            Ia melanjutkan dengan menceritakan sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat. Ketika saya SD, letaknya di dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan aku berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari, saya kehilangan satu dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu miliknya. Ketika kami tiba dirumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang teramat dingin sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya untuk makan. Sejak hari itu saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya.
            Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku. Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, dalam hidupku, orang yang paling aku ingin ucapkan terima kasih setiap waktu adalah adikku. Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan perayaan ini, air mata bercucuran seperti air terjun dari wajahku.

No comments:

Post a Comment